Kamis, 16 September 2010

KUKU KAKIKU KAKU-KAKU

Seklasik-klasiknya bahasa yang digunakan al-Quran, peran manusia dalam menafsirkan wahyu-wahyu Tuhan tidak akan lepas dari sifat progresif manusia (cf. Sztompka, 2004). Formula kimiawi tubuh yang berubah-ubah membuat manusia menjadi makhluk yang bergerak (cf. O'Hare for New Scientist).

Dan karena manusia itu bergerak; maka bahasapun begitu (cf. Chaer, 2003; Eifring and Theil, 2005). Oleh karenanya, saya lebih sepaham dengan opini ilmuwan Turki spt. Nursi dalam menafsirkan al-Quran.

Aliran garis keras seperti Wahabbi yang kemudian "diterjemahkan" ke Indonesia secara politis oleh Hizbut Tahrir dalam kaitannya menerapkan ajaran agama dengan kekakuan benar tidak saya mengerti.

Dimana bumi berpijak dan langit dijunjung, di situlah al-Quran menjadi pedoman. Menurut saya, konteks historis, geografis, demografis, dan antropologi tidak mungkin bisa dilepaskan begitu saja dalam menafsirkan wahyu Tuhan sehingga memungkinkan bagi wahyu-wahyu tsb. lebih fleksibel ketika memasuki alam (pikiran) yang dinamis dan luar biasa beragam. Perbedaan adalah satu dari rahmatNya. Ketidakmampuan mengatur testosteron logis ketika melahirkan vandalisme. Waktunya melemaskan otot-otot dengan berolahraga mungkin?

Rabu, 15 September 2010

OPINI - PERANG NAFSU SETAN

Satu dari empat penduduk Israel tidak beragama Yahudi (cf. Finkelstein, 2010: 47). Kenapa pemerintah Israel begitu memaksakan diri untuk disebut sebagai negara Yahudi? Berazas Pancasila, Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia saja tidak bisa disebut sebagai negara Islam. Politikus Israel yang mempertahankan zionisme sama anehnya dengan parpol "islamis" di Indonesia yang (pura-pura) mengislamkan kebinekaan. Jadi, penjajahan yang dilakukan Israel atas nama ideologi itu maksa beraaat... Bahkan bisa dibilang ideologinya itu fana. Adapun 'fait accompli' dari Israel ya penjajahannya itu sendiri; bukan ideologinya--yang dengan sendirinya meredup sejak serangan ke Gaza di tahun-tahun terakhir yang bahkan telah dikritik keras oleh orang Yahudi itu sendiri yang tinggal di AS, Kanada dan beberapa negara dari barikade barat lainnya. Keredupan zionisme sama halnya dengan islamisme yang dipraktikan melalui jalur politis yang pada akhirnya dapat menodai agama akibat sistem politik itu sendiri (band. Wahid, 2009). Politikus yang menggunakan metode sejenis bisa jadi adalah: (a) zombie penduduk Sodom Gomora yang gila perhatian; (b) si hijau super kolot; atau (c) pebisnis salah tempat. Alih-alih menyebut konflik Gaza sebagai perang ideologi; saya lebih berat 'tuk menyebutnya sebagai perang nafsu setan.

RUJUKAN
Finkelstein, Norman G. 2010. This Time We Went Too Far: Truth & Consequences of the Gaza Invasion. New York: OR Books.
Wahid, Abdurrahman. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

RESENSI BUKU - "THIS TIME WE WENT TOO FAR: TRUTH AND CONSEQUENCES OF THE GAZA INVANSION" (Finkelstein, 2010)

Jenis: Non-fiksi
Bidang: Politik

"Saya bukan anti-Amerika, anti-Inggris, anti-Yahudi--atau dalam hal ini anti-zionis. Saya anti-ketidakadilan, anti-hipokritisme, dan anti-kebohongan (Gandhi, 2008 - "The Essential Writing" [Ed. Judith M. Brown])."


Pada bab terpisah, buku ini membahas:
  1. (a) Palestina memiliki kasus-kasus yang lebih mendasar untuk mempertahankan diri alih-alih Israel--dalam artian, dari hukum internasional, Israel sahih untuk disebut sebagai penjajah; (b) peran Mesir dalam mengatasi konflik; dan (c) interverensi agen Israel dalam menyebarkan korupsi di tubuh Palestina dan teror sehingga memunculkan ketidakacuhan negara-negara Arab lainnya--keadaan ini yang dikatakan, salah satunya, menjadikan Israel kebal hukum.
  2. (a) Hamas memiliki landasan kuat untuk menyerang tentara Israel; (b) kontribusi positif dari bangsa Libanon (melalui Hizbullah) untuk Palestina; (c) organisasi internasional seperti PBB yang pro-Palestina [ternyata] lebih mendominasi--cukup mengagetkan; sebelumnya saya mengira orang-orang PBB hanya berleha-leha.
  3. Aksi cuci-tangan pemerintah Israel atas tindak kekerasannya; dan organisasi-organisasi--seperti Human Rights Watch--yang menentangnya.
  4. Teknik-teknik propaganda pemerintah Israel.
  5. Keadaan di Gaza per tahun 2009 hasil "wisata" pribadi si penulis.
  6. Menurunnya dukungan kepada pemerintah Israel-AS dari tataran makro (negara, ormas, universitas, dsb) dan mikrososial (perindividu) dalam kaitannya dengan konflik di Gaza. Secara spesifik, hal tersebut ditunjukan pada ketiga indikator berikut ini yang dapat dinilai sbg agen: (a) keturunan Yahudi itu sendiri;1 (b) warga AS;2 dan (c) masyarakat dari barikade barat.3

Secara umum, buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang tertarik dengan konflik di Gaza. Secara khusus, dari bab 1-5, buku ini mungkin bisa mengernyitkan dahi sebagian orang yang selama ini disuguhi perspektif yang berbeda (salah)--terutama masyarakat Barat akibat interverensi media Barat dalam mendistorsi informasi. Sementara itu, di bab ke-6, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca bagi mereka yang belum tahu perubahaan terakhir masyarakat Yahudi dewasa ini--terutama di Indonesia dan/atau saudara sesama pemeluk Islam yang sebagian dari mereka masih mengeneralisasi--mengartikan secara harfiah dan tanpa konteks--bahwa semua bangsa Israel dan/atau Yahudi laten bersifat biadab. Bab "Ever Fewer Hossanas" wajib dibaca oleh kita yang ingin mengurangi pergesekan sosial akibat su'uzdon--yang mungkin nantinya hanya akan memperburuk keadaan.

Akhirnya, kita tidak bisa lagi menggunakan embel-embel seperti paham kebangsaaan, agama, dan/atau status sosial untuk membedakan yang benar dari yang bathil.

Bagi yang berminat, silahkan kirim alamat sulernya; nanti saya kirim bukunya dalam format PDF.


TENTANG PENULIS

Sama seperti Chomsky (Dekan jurusan ilmu kebahasaan di MIT, AS), dan Carol (pakar bahasa lulusan Harvard); si penulis adalah satu dari beberapa warga AS keturunan Yahudi yang vokal mengkritik kebijakan politik internasional Israel dan AS.


NOTABENE

  1. Aksi saling memprotes antar sesama Yahudi tampak pada situasi berikut ini: (a) "Israel sekarang berdampak negatif kepada Yahudi." (Judt sebagai sejarahwan keturunan Yahudi, - "Israel: The alternative", New York Review of Books, 2003); (b) "Penyerangan di Gaza membuat saya malu menjadi keturunan Yahudi" (Kuerti to Mathieu for Toronto Star, 2009 - "Jewish Women Arrested in Toronto Consulate Protest"); (c) seorang keturunan Yahudi-Perancis yang meminta izin ke presiden Israel agar menghilangkan nama belakangnya (Le Monde, 2009 - "Eff acez le nom de mon grand-père à Yad Vashem"); (d) organisasi-organisasi Yahudi ad hoc kini mulai banyak menentang bentuk-bentuk penyerangan (Lerman for Guardian, 2009 - "The Rise of Moderates"; Beaumont, et al. for Observer, 2009 - "Leading British Jews Call on Israel to Halt 'Horror' of Gaza"); (e) beberapa pemimpin organisasi besar keturunan Yahudi juga sudah mulai sadar bahwa tidak ada satupun pembenaran untuk menyerang warga Palestina--termasuk Holocaust (Gerald Kaufman, 2009 - http://www.goldstone-report.org/); (f) adanya laporan berjudul "Report" (tahun) yang ditulis oleh seorang mantan zionis bernama Goldstone. Laporan tersebut digunakan PBB sebagai (salah satu) materi dasar meratifikasi sanksi tegas kepada Israel; (g) anak-anak muda keturunan Yahudi saat ini lebih kritis dalam mengkaji kebijakan luar negeri pemerintahan Israel--setidaknya pada apa yang ditujukan di dunia blogging, seperti: (i) American Prospect; (ii) Mondoweiss; (iii) Think Progress; dan (iv) Salon.com (2009); (h) gerakan-gerakan di kampus sering dijadikan sebagai salah satu sinyalemen munculnya pembaruan. Hanya 5% dari sekitar 1/2 juta mahasiswa Yahudi di Kanada yang masuk ke organisasi keyahudian. Sementara itu, per 2010 perguruang tinggi di Kanada berhasil merebut posisi AS sebagai negara dengan pendidikan tersier terbaik di dunia (cf. Study Magazine via Twitter, 2010).
  2. Menurut saya, kombinasi tragedi Holocaust dan peran keturunan Yahudi pada sektor riil berpengaruh pada pembentukan sentimen positif warga AS. Tapi sekarang ada progres yang ditunjukkan pada: (a) secara sosial, masyarakat AS yang berteman dengan orang Yahudi membicarakan isu tentang Israel menurun dari 75% menjadi 65%; dan 53% menjadi 39% (Cohen for Forward, 2005 - "Poll: Attachment of U.S. Jews to Israel falls in past 2 years"); (b) warga AS yang membenarkan penyerangan Israel menurun menjadi 40%; sementara di partai Demokrat hasilnya menurun lagi menjadi 30% (Rasmussen Reports, 2008 - "Americans Closely Divided over Israel's Gaza Attacks"; Pew Research Center, 2009 - "Modest Backing for Israel in Gaza Crisis", alt. link); (c) warga AS yang mendukung Israel menurun dari 69% ke 49%; begitupun mereka yang percaya bahwa [pemerintah] AS seharusnya mendukung Israel (Jewish Telegraphic Agency, 2009 - "Poll Shows Dip in American Voters' Supporting Israel").
  3. (a) Uni-Eropa menilai Israel sama rendahnya dengan suku pariah--kasta terbawah di India--karena dinilai sebagai penghambat utama terciptanya perdamaian dunia (Beaumont for Guardian, 2003 - "Israel Outraged as EU Poll Names It a Threat to Peace"); (b) 19/21 negara menilai Israel bersifat mudarat (Economist, 2007 - "Second thoughts about the Promised Land"); (c) Israel tidak bisa lagi mendiktekan forum debat. Dia tidak berada di atas hukum (Financial Times [ENG], 2009 - "Israel's Revealing Fury towards EU", alt. link); (d) Mahasiswa yang menentang Israel berasal dari beragam institusi, yakni: Oxford, Cambridge, Manchester, Birmingham, London School of Economics, School of Oriental and Asian Studies, Warwick, King's, Sussex, dan Cardiff (Quinn and Weaver, 2009 for Guardian - "Tens of Thousands in London Protest Gaza Offensive"; cf. Daily Mail, 2009 - "Cities across the World Become Platform for Hundreds of Thousands of Protesters against Gaza Fighting").

REFLEKSI BUKU - "THE TOP 200 CHOMSKY LIES" (Bogdanor, 2007)


Jenis: Non-fiksi, kompilasi
Bidang: Umum

"Benar-salah cenderung bersifat relatif--atau bahkan subyektif. Dan karena lebih berkutat pada masalah cara dan/atau gaya, benar-salah dekat dengan yang fisik. Lain itu, kebenaran dan kebohongan ialah substansi lain yang bersifat lebih universal pun mentalis."

PENDAHULUAN

Secara umum, karya ini dimaksudkan untuk tujuan mengontraskan dua hal yang berbeda--yang berpangkal untuk membuktikan bahwa Chomsky telah berbohong.


ISI

A. Kritik

Ada 3 hal yang membuat saya tidak apresiatif dengan buku ini, yakni:

1. Kualifikasi sumber data cacat

Dari yang saya amati, tindak pengontrasan ini tidak sahih mengingat tidak semua data dicatat dengan menggunakan metode standar, khususnya pada transparansi pustaka. Contohnya, yakni pada saat Bogdanor berusaha mengungkapkan kebenaran atas kebohongan yang disebarkan oleh Chomsky mengenai: (a) kapan terjadinya kasus pemboman di Israel (p. 39); dan (b) pada kasus pemboman di Kamboja (p. 48).

2. Penjelasan minim--atau hampir tidak ada

Di luar itu, "buku" ini lebih bersifat seperti katalog propaganda alih-alih sebuah analisis untuk membedakan kebenaran dan kebohongan. Tidak ada: (a) justifikasi sumber (penulis) pustaka secara lengkap--seperti: identifikasi tokoh, kualifikasi profesi, kredibilitas sosial, dsb;* apalagi (b) penjelasan (jembatan) untuk kedua pernyataan yang saling bertolak belakang tsb--yang menurut saya merupakan bagian terpenting. Pada akhirnya, membuat "buku" ini menjadi sulit untuk saya pahami (percayai). Yang lebih mendasar, secara entah-berantah Bogdanor melabeli pernyataan A sebagai kebohongan dan pernyataan B sebagai kebenaran.

3. Kegamangan korelasi kedua pernyataan yang dipengaruhi oleh:


3.1 Ketidaksesuaian


3.1.1 Kata benda: Marxist tidak sama dengan Marxist-anarkis

Saya melihat tidak semua pernyataan yang disajikan memiliki korelasi langsung. Sebagai contoh pada bagian "Chomsky Lies [a]bout Himself" (p. 61). Contoh: Pada eksposisi ke-10, ada pernyataan A yang berbunyi, "Saya tidak pernah menganggap diri saya seorang Marxist atau bahkan menganggap ide tersebut bersifat Marxist seperti ide-ide yang berkaitan dengan agama dan analisis rasional lainnya." (Chomsky, 2004: 259 - "Language and Politics"). Sementara itu, di pernyataan B dikatakan bahwa, "Menurut saya, sudut pandang seorang Marxist-anarkis terbukti cukup jauh dari apapun yang mungkin terjadi di dalam ilmu linguistik." (Ibid, p. 113). Kemudian ditambah, "Saya tidak akan menelantarkan Marxisme." (Ibid, p. 153). Dari pengamatan saya, ada elemen-elemen dari kalimat tersebut yang membatasi terciptanya hubungan di antara kedua premis tersebut. Penjelasan: Di pernyataan A disebutkan tentang seorang 'Marxist'; sementara di pernyataan B, 'Marxist-anarkis'. Kita mendapati bahwa ada perbedaan nomina yang digunakan. Dengan analisis metode substitusi, bila 'Marxist' adalah 'hijau', sementara 'Marxist-anarkis' adalah 'hijau-biru'; kita dapat mengatakan bahwa kita tidak bisa menyebut warna 'hijau' setara dengan 'hijau-biru'. Entah bersifat setara atau bertingkat, secara morfo-semantik, kata majemuk 'Marxist-anarkis' dari pernyataan B tidak bisa disandingkan dengan kata singular 'Marxist' dari pernyataan A.

3.1.2 Kata kerja: Mengkaji Marxisme tidak sama dengan menjadi Marxist

Selanjutnya, ketidakselarasan lain juga bisa kita amati pada sebuah klausa di pernyataan A, yakni "Saya tidak pernah menganggap diri saya seorang Marxist" dan klausa dari pernyataan B, yakni "Saya tidak akan menelantarkan Marxisme". Dari kedua pernyataan tersebut kita tidak bisa secara langsung mengatakan bahwa 'menelantarkan' berarti 'menjadi bagian [akan sesuatu]'. Untuk lebih jelasnya, simak analisis dengan metode substitusi berikut:
(a) "X tidak akan pernah menganggap dirinya seorang muslim"--atau bagian dari Islam; dan
(b) "X tidak akan menelantarkan Islam."
Apakah dengan acuh terhadap Islam itu berarti si X bukan seorang muslim? Mungkin saja bila si pembuat pernyataan memang bukan seorang muslim. Bisa jadi dia hanya subyek dari pemeluk agama lain--atau bahkan ateis--yang sedang mengkaji studi tentang Islam. Kenyataanya, kita tidak tahu akan hal itu. Atau dalam kata lain ada bagian yang hilang yang membuat kita tidak bisa menyimpulkan. Itu artinya, sub-premis tersebut tidak bersifat inklusif secara langsung pada premisnya yang pada akhirnya membuat hal tersebut mustahil untuk dibuktikan.

3.2 Kesesuaian

Dan bila dicermati lebih seksama, kalaupun ingin dipaksakan bahwa 'Marxist' sama dengan 'Marxist-anarkis', pernyataan A dan B ini justru menciptakan harmoni. Di pernyataan A disebutkan bahwa "Ide-ide seorang Marxist tidak berkaitan dengan analisis rasional apapun"; sementara itu di pernyataan B disebutkan bahwa "Perspektif seorang Marxist[-anarkis] terbukti cukup jauh dari ilmu linguistik." Dengan penalaran umum bahwa linguistik adalah sebuah ilmu, maka aman saja untuk menyebutnya sebagai sebuah analisis rasional. Dan dengan menilai bahwa konsep 'tidak berkaitan' pada pernyataan A bisa memiliki kesan (sense) yang sama dengan 'jauh' pada pernyataan B, saya pikir kesamaan ini bisa menjadi bukti untuk keselarasan yang saya maksud sebelumnya.

3.3 Ke(tidak)sesuaian berarti ke(tidak)jujuran

Dari 2 ketidaksesuaian di atas disimpulkan bahwa pernyataan A dan B tersebut tidak berhubungan. Itu artinya, setidaknya untuk satu pemaparan tersebut (p. 61), Chomsky tidak terbukti berbohong. Dan dari 1 kesesuaian [yang dipaksakan], justru Chomskylah yang terbukti (telah) berkata jujur--atau paling tidak persisten.

B. Pujian

Namun begitu, meski tema yang dimasukkan oleh Bogdanor relatif soliter; isu yang dimaktubkan ke dalamnya terhitung banyak. Salut atas keberhasilannya mengumpulkan ke-200 korpus.


PENUTUP

Zaman sekarang, bila tidak ingin disebut penyangkal (buta-tuli), kita harus meningkatkan level skeptisisme kita dengan meruncingkan indera kita. Iya toh? (cf. New Scientist, 2010 - "Living in denial"). Menurut saya "buku" ini lebih bercirikan pada kebiasan (sinisme) daripada sesuatu yang netral.


NOTABENE (*)

Hal-hal yang demikian saya rasa ada pentingnya mengingat  eksposisi media dalam mendistorsi informasi sbg konsekuensi bisnis, menurut saya, benar berperan (Herman and Chomsky, 1988 - "Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media").

Senin, 16 Agustus 2010

BLOG ANONIM [1] SEBAGAI BENTUK KEBEBASAN BERPENDAPAT YANG TERLAKSANA ATAU JUSTRU REAKSI ATAS TEKANAN POLITIS?





PENDAHULUAN

Di suatu waktu (2010), saya terlibat diskusi dengan salah satu selebritis lokal di Twitter.2  Diskusi kami berdua berpusat pada hubungan bahasa Inggris dengan promosi budaya daerah dalam kepariwisataan. Sementara saya menjelaskan tentang alasan-alasan perlunya "menganaktirikan" bahasa Inggris sebagai bentuk respon terhadap kamuflase globalisasi (Zuckermann, 2003; band. Hanafi, 2009); beliau justru kontradiktif dengan mengacuhkan peran bahasa nasional dan menggunakan bahasa Inggris. Uniknya, melalui Twitternya, beliau adalah pihak yang cukup proaktif dalam menyebarkan ideologi nasionalisme--bingung? Saya juga. Mengapa seorang nasionalis justru mengacuhkan peran bahasa nasional?3 4 Di akhir percakapan, ia pun meminta pranala blog saya. Sia-sia saja, karena saya sendiri tidak pernah lagi aktif menulis blog sejak lulus SMA (2004).

Di lain kesempatan (2010), salah seorang pengamat politik tanah air5--juga melalui Twitter--membahas tentang peran blog anonim--dalam kaitannya dengan penyebaran informasi.

Berkaitan dengan hal yang telah disebutkan dalam dua kejadian di atas, maka saya mencoba membuat sketsa tentang apa itu blog anonim, siapa pembuatnya, dan sebab-musabab munculnya blog anonim.

Kata kunci: blog anonim

"Jika kamu bermaksud mempercayai semua yang kamu baca, maka berhentilah membaca." (Peribahasa Arab).


ISI

Seorang pakar dalam bidang tertentu, secara langsung, disebut juga peneliti. Dalam proses menganalisa, yang namanya peneliti sudah barang tentu diharapkan untuk selalu melihat sebuah kajian dari 3 sisi: positif, negatif, dan netral. Kecendrungan tersebut kemudian "memaksa" tiap peniliti untuk berpikir skeptis (Chomsky, 2006: 20; 103-104). Ideologi skeptisisme ini yang kemudian melahirkan anonimitas. Dengan landasan bahwa para pakar pun--sebagai manusia--tak luput dari kesalahan, dan semua manusia itu sama; maka mereka menanggalkan status. Adapun pakar yang yakin sepenuhnya terhadap sebuah hasil penilitian biasanya dipengaruhi oleh motif politik--dan ekonomi (Cf. Kitcher, 2001; Greenberg, 2003)--contoh kasus: (a) promosi pemanasan global yang dilakukan oleh Al-Gore (AS) (Lindzen, 1995); dan (b) terkikisnya teori Darwin dalam kaitannya homo sapiens sebagai bentuk evolusi dari monyet (Cohen, 2007).

Faktor lain mengapa pembuat blog anonim menanggalkan statusnya, yakni justru statusnya tersebut menghambatnya untuk berbicara. Penalarannya adalah mereka menulis tidak untuk dikenal; melainkan didengar karena frustasi dengan sebuah situasi dan/atau kondisi. Karena itu, umumnya, pembuat blog anonim justru orang yang terkenal di bidangnya dalam (sebuah) komunitas tertentu. Dengan begitu, semacam ada "prasyarat" bahwa sebelum membuat blog anonim Anda harus cukup terkenal terlebih dahulu. Logika ini bisa diterangkan dengan sebuah kondisi ketika wartawan sebuah media massa (baik dalam versi digital maupun cetak) menuliskan namanya ke dalam sebuah inisial--misal: RP. Ketertutupan ini bila dimasukan dengan fakta di lapangan bahwa terdapat permintaan untuk membelokkan berita yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu--misal: pemilik media (Wilmy, 2009-2010)--mengisyaratkan bahwa ada kepentingan perorangan ataupun golongan di hampir tiap berita.6

Oleh karena memendam sesuatu, para pemilik blog anonim ini biasanya adalah peneliti yang memiliki kontrol emosi tidak setenang penampilannya.7 Mereka gemar berdebat. Meski mereka paham benar bahwa berdebat dengan orang awam bisa mengantarkan kebinasaan. Untuk bisa meneruskan hobi berdebatnya, para pakar menghilangkan statusnya dengan membuat blog anonim agar setara dengan para gila debat umum yang masih hijau. Ini bisa menjadi faktor ketiga mengapa penanggalan status sosial itu penting, yakni agar kredibilitas tulisan mereka mampu disentuh oleh lebih banyak golongan.

Saya pribadi selalu menikmati proses makan-memakan para pemilik blog anonim terhadap para amatiran miskin data yang menyulut "perkelahian". Meski terkadang tidak tega juga, namun begitu, di sinilah kegiatan distribusi dan/atau pentransferan ilmu berlangsung cenderung efektif. Perdebatan dengan kaum awam tidak jarang menyulut emosi. Dan karena hal-hal yang mengandung nilai emosional memiliki kesempatan lebih besar untuk masuk ke memori jangka panjang (citation required), blog anonim memainkan perannya.

Para pemilik blog anonim sudah pasti konsumen ilmu; namun kurang ahli dalam mendistribusikan ilmunya tersebut ke dalam kegiatan belajar-mengajar umum. Sekalipun seorang pemilik blog anonim mengajar secara resmi di sebuah lembaga (in)formal, bisa dipastikan dia terkenal killer di antara muridnya. Karena biasanya, dibandingkan daya ingatnya yang tajam, pemilik blog anonim memiliki kecerdasan emosi yang tidak terlalu menggembirakan. Oleh karena itulah, pemilik blog anonim sering gagal dalam aktivitas pedagogis praktis. Pemilik blog anonim yang berprofesi sebagai pengajar terkenal lebih ramah ketika melakukan kontak dengan buku alih-alih manusia. Di luar faktor intensitas kontak dengan buku dan manusia, arogansi pemilik blog anonim ini dinilai sebagai bentuk konsekuensi atas popularitas yang "dihibahi" oleh komunitasnya; dan kesendiriannya di tempat yang lain di waktu yang bersamaan.

Ideologi anonimitas kemudian banyak dipraktikan di dalam dunia maya. Salah satu wadahnya yang cukup terkenal adalah situs 4Chan (cf. Poole for TED, 2010). Pembuatan blog anonim bisa juga diartikan sebagai wujud kekecewaan para pakar ketika menemukan kontras di antara konteks akademis dan dunia nyata. Atas kerancuan yang dilihatnya, para pakar ini kemudian menyembunyikan dirinya bersama pengetahuannya ke dalam blog anonim. Dari sini, maka bisa diidentifikasi bahwa terdapat juga pemilik blog anonim yang tidak suka didekati oleh siapapun--khususnya, kaum oposisi dan penjilat. Isolasi dirinya dalam anonimitas seolah berbunyi, "Jika kamu segan berwelas asih berbagi data bisa tolong usahakan untuk tutup mulut?" Tidak sulit bagi para pembaca blog yang juga merupakan penulis blog anonim untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan kombinasi rasa hormat kepada penulis blog anonim dan ketidakberdayaan atas rezim politik, dua orang atau kumpulan penulis blog anonim saling berteriak dalam nyinyir kebisuan.


PENUTUP

Di luar praktik KKN, memiliki blog tentu tidak sesulit memiliki gelar akademis. Kita tetap harus bijak dalam membaca blog anonim tersebut. Apakah blog anonim berperan dalam mendistribusikan ilmu atau justru memupuk sampah--internet sebagai TPA? (citation required). Benang merahnya, tidak peduli siapa yang berbicara, selama informasi yang disajikan masuk ke nalar kita (bisa diproses), maka kita patut mempertimbangkan untuk menjadikannya sebagai pengetahuan. Logika anonimitas ini masuk dengan mudah ke dalam konsep persamaan HAM dalam isu hak kebebasan berpendapat.

Sebagai negara demokrasi-sosialis (band. Adian, 2010), sistem institusional Indonesia masih perlu dibenahi. Ada beberapa institusi, yang jika tidak diawasi oleh pihak luar (bukan instrumen negara), masih melakukan penyimpangan. Atas kondisi ini maka saya bisa menyimpulkan bahwa kebebasan berpendapat masih belum ditegakan sempurna--contoh kasus: pembatasan hak siar infotainmen (band. Jawa Pos, 2010). Institusi negara sepeti Depkominfo masih dinilai menye-menye dalam mewujudkan hal ini (band. Kompas, 2010). Hadirnya blog anonim merupakan sebuah kondisi ipso facto bahwa mempublikasikan pendapat masih tidak lepas dari pengawasan dan kontrol kaum elit--tanpa melepas fakta bahwa adanya dua stasiun TV yang cukup berpengaruh dimiliki oleh anggota parpol besar.

Bila internet adalah sumber informasi yang tergolong praktis--secara teknis dan ekonomis, dan rendah pengawasan; saya cenderung untuk menilai bahwa munculnya blog anonim adalah sebagai reaksi para pakar atas tekanan politis mengenai penyebaran informasi di media massa resmi. Dan dengan adanya rencana pelarangan penerbitan sejumlah judul buku oleh Kejaksaan Agung (HMINews.com, 2010) sehingga makin memperkecil wadah bagi para pakar tersebut dalam mengekspresikan buah pikirannya; saya berharap semoga blog anonim tidak betul-betul menjadi diaspora--apalagi tren.


NOTABENE

Bagian isi dari tulisan ini terlebih dahulu saya publikasikan melalui Twitter (2010). Isinya sendiri berasal dari pengamatan langsung semi-partisipatif terhadap (setidaknya) 5 akun Twitter yang membahas seputar politik tanah air dan pemasaran iklan. Secara khusus, alasan saya menggunakan Twitter sebagai sumber data adalah pertumbuhan situs micro-blogging ini yang pesat--baik di dalam maupun luar negeri (Cheng and Evans for Sysomos, 2009; cf. Buchanan for New Scientist, 2010).

  1. Definisi blog anonim bisa berangkat dari banyaknya jumlah informasi yang dimaktubkan ke dalam blog. Tidak terbatas pada sifat-sifat umum seorang penulis, blog anonim juga ditentukan oleh ketidakhadiran data perihal peran penulis terhadap obyek yang dikajinya. Misal: (a) Ketika saya memiliki sebuah blog dengan mencantumkan identitas sebagai Reza Putra; kemudian berbicara mengenai cara mudah belajar bahasa Inggris tanpa memasukkan informasi mengenai pendidikan formal dan informal saya dalam bidang yang terkait dengan tulisan tersebut di dalam blog, maka blog saya ini bisa diartikan sebagai blog anonim. Dengan pra-pemahaman bahwa nomina yang saya gunakan sebagai nama diri bersifat manasuka sehingga siapapun bisa menggunakan nama tersebut; dan pemahaman bahwa saya berbicara sebagai seseorang yang memiliki keahlian dalam berbahasa Inggris dengan derajat terendah--karena tidak adanya kepastian (pengakuan) bahwa saya terdidik. (b) Ketika saya berbicara mengenai kehidupan sehari-hari dengan identitas yg sama dengan kasus (a), maka blog saya masuk ke kategori blog beridentitas (non-anonim). Dengan pra-pemikiran bahwa kegiatan sehari-sehari tersebut ditulis oleh subyek yang bernama Reza Putra; dan pemikiran bahwa semua orang punya nama, dan semua orang punya aktivitas sehari-hari. Dengan tulisannya itu sendiri, dalam kasus ini, subyek si penulis justru menjadi semakin runcing (spesifik)--makin memburami anonimitas blog tersebut. Dari sini bisa disimpulkan bahwa relativitas atas definisi blog anonim dipengaruhi oleh korelasi antara penulis dan apa yang ditulisnya. Semakin umum subyeknya, dan semakin khusus obyek yang ditulisnya; maka semakin tinggi nilai anonimitasnya. Sebaliknya, semakin khusus subyeknya, dan semakin umum obyek yang ditulisnya; maka semakin rendah nilai anonimitasnya.8
  2. Sempat menjadi pembawa acara di salah satu stasiun TV swasta non-berita.
  3. Penilaian saya mengenai pengacuhan ini juga bisa dilandaskan pada judul buku yang ia tulis, yakni "Nasional.Is.Me". Dengan judul tersebut, jelas terlihat adanya campur-kode (Inggris dan Bahasa). Bila campur-kode merupakan suatu gejala lingusitik alamiah atas kedwibahasaan (Wardhaugh, 1986), maka sulit untuk memaparkan ketidaksinambungan nasionalisme yang beliau promosikan bila difokuskan pada landasan kedwibahasaan. Karena faktanya, di luar moralitas, ketidakmampuan berbahasa nasional tidak cukup menggariskan bahwa orang tersebut tidak cinta bangsanya (read Onishi for New York Times, 2010). Bila dibandingkan dengan kondisi Indonesia zaman penjajahan, dimana bahasa Belanda banyak digunakan sebagai bahasa kedua, pengacuhan bahasa nasional yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dulu dan selebritis lokal ini sama-sama memiliki unsur kesengajaan (Sneddon, 2003)--bukan ketidakmampuan seperti yang terjadi pada anak-anak Indonesia ekabahasa yang berkomunikasi dalam bahasa Inggris meskipun mereka lahir dan tumbuh di Indonesia. Bila kondisi tersebut sarat faktor ekonomi dan sosial; maka yang dilakukan oleh selebritas lokal ini lebih dipengaruhi oleh faktor kreativitas (band. Putra, 2009)--dan mungkin sosial. Jika apa yang dikatakan oleh fisikawan Spanyol bernama Huartes (1700an) sahih bahwa: (a) kreativitas merupakan bentuk kecerdasan tertinggi; dan (b) definisi kreatif dibatasi pada kegiatan penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya (cf. Chomsky, 2006: 6-7), saya pribadi tidak bisa menyepelekan penemuan si selebritis lokal mengenai usahanya memisahkan sebuah kata benda 'nasionalisme' menjadi sebuah kalimat pernyataan "Nasional Is Me" yang utuh. Untuk menguji apakah karyanya benar-benar asli atau tidak, kita bisa membandingkannya dengan sistem ortografi sejenis yang diusung oleh salah satu anggota grup rap asal Inggris yang bernama Black Eyed Peas. Pada nama dirinya, si selebritis tersebut merubah nama depan 'William'-nya menjadi sebuah kalimat interogatif "Will I Am[?]" Dengan pemaparan-pemaparan ini, saya pikir aman untuk mengatakan bahwa kreativitasnya justru menggagalkan ideologi nasionalismenya.
  4. Menurut hemat saya, ada baiknya kita belajar dari dinas pariwisata Jepang. Mereka mempermudah para wisatawan asing dengan menerjemahkan marka jalan ke dalam bahasa mereka--sesuai dengan jumlah wisatawan terbanyak, yakni: Amerika, Korea dan Cina (cf. Tsukamoto, et al., 2005). Lebih jauh lagi, kita bisa menerapkan ini perwilayah. Misal: Seluruh marka jalan di Bali wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Australia), Jepang dan Korea. Dengan begitu, kebijakan ini diharapkan bisa lebih tepat guna. Salah satu alasan saya menelantarkan konsep bahasa internasional adalah sifatnya yang lekang waktu. Dengan mempertahankan jiwa masyarakat Indonesia yang multikultural, penerapan multibahasa bisa mengeliminasi kemungkinan adanya kekacauan bila negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik di atas kita yang dijadikan panutan runtuh sewaktu-waktu.
  5. Pakar politik yang tidak--atau belum--masuk politik praktis; dosen; karib dari WW dan B.
  6. Anda bisa kontraskan hal ini dengan transparansi yang diterapkan oleh media massa Amerika dimana umumnya penulis sebuah berita menggunakan nama jelas alih-alih sekedar inisial.
  7. Ketika menerima oposisi, penulis blog anonim memiliki dua gaya bahasa, yakni: (a) agresif; atau (b) regresif. Mereka yang agresif, bisa langsung membuat kalimat deklaratif atau perintah seperti: "Menjadi kader Partai Demokrat tidak menjadikan Anda benar secara mutlak.", dan "Silahkan sekolah lagi."; sementara si regresif, menggunakan kalimat interogatif atau persuasif seperti: "Robinhood sama dengan pejabat? Sepertinya tidak kena ya?". Terkadang, si regresif ini cenderung melengkapi kalimatnya dengan penggunaan emoticon seperti: ':)', ':D', dsb.
  8. Melalui kata 'anonymous', Oxford (2001) menggariskan konsep anonimitas pada hilangnya karakteristik unik seseorang/sesuatu. Dengan kata lain, semakin anonim seseorang/sesuatu, maka semakin umum--gaib--wujudnya. Kata tersebut diserap oleh bahasa Inggris dari bahasa Yunani, yakni 'anonumos' yang artinya 'tidak bernama'. Penjelasan pada poin 1 menjadi penting mengingat sistem pendaftaran blog seperti Twitter dan Blogger tidak mengizinkan blog tanpa nama. Umumnya, mereka membuat syarat minimum dengan penggunaan nama panggilan yang berupa klaim sepihak atau dua pihak (pemberian dari orang lain). Adapun pendaftaran nama asli bersifat tidak mengikat. Oleh karenanyalah, sistem pendaftaran blog juga sangat rentan dengan penipuan.

RUJUKAN

Adian, Donny Gahral. 2010. Menakar Kualitas Demokrasi dalam "Save Our Nation" [Mod.: Najwa Shihab; Anis Baswedan]. Disiarkan 29 Juli 2010. Jakarta: Metro TV.

Armeyn, Jerussalem Susdo Hasintongan. 2010. Sebuah respon untuk percakapan antara @RP2504 dan @p***** di Twitter.

Buchanan, Mark. 2010. Social web: The great tipping point test. New Scientist, Jilid 2770 - The Greatest Experiment Begins, Juli 2010.

Cheng, Alex and Mark Evans. 2009. Inside Twitter: An In-Depth Look Inside the Twitter World. [Dalam jaringan]. Tersedia di Sysomos.com.

Chomsky, Noam. 2006. Language and Mind (Edisi Ke-3). New York: Cambridge University Press.

Cohen, Jon. 2007. Relative differences: the myth of 1%". Science, jilid 316, 29 Juni 2007. Washington DC: American Association for the Advancement of Science.

Concise Oxford Dictionary (Edisi ke-10), Versi 1.1, 2001 [Berkas komputer dalam CD-ROM]. Inggris: Oxford University Press.

Hanafi, Taufiq. 2009. Sebuah respon untuk "New nationalism - The forthcoming 'ouvre' for Pusat Bahasa--will be? [Reza Putra]" di Facebook.

HMINews.com. 2010. Mengapa kita menggugat pelarangan buku? [Dalam jaringan]. Tersedia di: HMINews.com.

Greenberg, Daniel S. 2003. Science, Money, and Politics: Political Triumph and Ethical Erosion. University of Chicago Press.

Jawa Pos. 2010. Ketua DPR kuatkan pelarangan infotainmen[]. [Dalam jaringan]. Tersedia di: Jawa Pos National Network.

Kitcher, Philip. 2001. Science, Truth, and Democracy. Oxford University Press.

Lindzen, Richard S. 1995. Science and politics: global warming and eugenics in Risks, Costs, and Lives Saved [Peny.: R.W. Hahn]. 1996. New York: Oxford University Press. [Dalam jaringan]. Tersedia di MIT.

Onishi, Norimitsu. 2010. Indonesians' focus on language is often English - As English spreads, Indonesians fear for their language. The New York Times. [Dalam jaringan]. Tersedia di NYTimes.com.

Poole, Christopher. 2010. Christopher "moot" Poole: The case for anonymity online. [Dalam jaringan]. Tersedia di TED.

Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: University of New South Wales Press Ltd.

Syalika, Irani. 2010. Sebuah respon untuk percakapan antara @RP2504 dan @p***** di Twitter.

Tsukamoto, Renpei, et al. 2005. Dragon Zakura. [DVD]. Jepang: TBS.

Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.

Wilmy, Rizky. 2009-2010. Sebuah testimoni atas alasannya mengundurkan diri sebagai wartawan sebuah majalah ekonomi. [Pembicaraan melalui pesan singkat]. Bekasi-Bandung.

Zuckermann, Ghil'ad. 2003. Language contact and globalisation: the camouflaged influence of English on the world's languages--with special attention to Israeli (sic) and Mandarin. Cambridge Review of International Affairs, Volume 16, Nomor 2, Juli 2003. Inggris: Carfax Publishing; Center of International Studies (CIS).