Jumat, 26 Oktober 2012

ULASAN "SHOP CLASS AS SOULCRAFT" (2012)

Kali ini saya mengulas buku “Shop Class as Soulcraft” yang ditulis oleh Matthew B. Crawford.Buku ini adalah konversi halus dari disertasinya. Secara umum, buku ini memberikan gagasan tentang cara memperoleh kebahagiaan bagi para pekerja kerah putih. Berikut ini adalah perincian dari gagasannya:

1.       BAB 1 menjelaskan tentang nilai positif dan masa depan dari sekolah kejuruan dan pekerjaan manual

Finlandia mungkin bisa dijadikan kisah sukses dari sekolah kejuruan.

·         Kepuasan batin dari pekerjaan manual

·         Tuntutan kognitif dari pekerjaan manual

·         Pendidikan demokratis yang baik meletakan apa pun yang baik pada tempat terhormat darikehidupan kita.

o   Efisiensi dan kepercayaan diri tidak berdiri sendiri.

·         Pekerjaan manual adalah pekerjaan masa depan (Blinder, 2006).

2.       BAB 2 menjelaskan bahwamengikuti tuntutan kapitalisme, yakni menganggap kegiatan ‘berpikir’dan‘bekerja’sebagai kegiatan yang terpisah adalah penyebab mengapa kita semakin bodoh (Bravermen, 1974)

·         Degradasi pekerjaan kerah biru

o   Kenaikan upah membuat mesin di pabrik tetap berjalan sekaligus membuang pekerja yang terampil demi efisiensi biaya.

o   Utang konsumen (cicilan) adalah “pendisiplinan” pekerja.

Temuan abad 20 ini yang membuat para buruh bekerja seperti babi.

·         Degradasi pekerjaan kerah putih

o   Pengalihan wewenang atas penilaian dari manusia kepada intelegensi artifisialtermasuk, tetapi tidak terbatas pada, perangkat lunak, mesin, robot, dll.

Pengalihan tersebut juga merampas kepercayaan diri pekerja (lih. BAB 1).

·         Karena kreativitas dibentuk dari bekerja secara berkelanjutan, kreativitas kebebasan. Menganggap ‘kreativitas = kebebasan’ sejalan dengan budaya kapitalisme baru—studi kasus: Best Buy.

·         Mengikuti kursus daripada kuliah adalah salah satu cara untuk mengelak dari tuntutan tersebut.

3.       BAB 3 menjelaskan tentang kepemilikan sejati atas barang-barang yang kita miliki

·         Lapisan birokrasi dalam perusahaan menghilangkan kebebasan konsumen (hal. 63).

·         Fakta fisika dan karakter budaya kebendaan sama-sama belum berubah.

Beberapa perusahaan menyembunyikan hal tersebut dari konsumen dengan merancang produk yang tampak modern dan sederhana.

o   Tidak ada produk yang antirusak. Semua produk, misalnya elektronik, memiliki keterbatasan fisik. Menyerahkan urusan perbaikan produk yang kita beli kepada produsen, misalnya iPhone,adalah bentuk ketergantungan mutlak; kepemilikan semu sehingga tanggung jawab kita terhadap barang menjadi terbatas.

·         Kegiatan lebih penting daripada produk.

Dengan tangan, kita berkegiatan (vid. Anaxagoras).

·         Otonomi perusahaan terhadap sebuah produk justru merenggut kebebasan dan kecerdasan kita sebagai manusia (cf. ibid) dan merusak kegiatan konsumsi kita sebagai konsumen (hal. 77).

·         Kerugian peluang yang digunakan ekonom bersifat semu karena pengalaman manusia tidak bisa dipertukarkan. Formula bahwa ‘waktu adalah uang’ tidak selamanya berlaku.

4.       BAB 4 menjelaskan bahwa jenis pekerjaan yang berbeda menarik karakter yang berbeda pula.

Saya tidak yakin dengan pendapatnya, bukankah seharusnya sebaliknya? Pandangan Crawford dipengaruhi oleh pendapat Marx bahwa dengan bekerja manusia mengenali karakter spesiesnya.Meskipun sebenarnya ia juga menyadari bahwa pendapat Marx tidak terlalu meyakinkan (hal. 217).

·         Pola pikir fisikawan yang matematis tidak melulu realistis (hal. 91).

·         Sama seperti dokter, moral dan etika pekerja mekanik terletak pada keterbukaan(tidak termasuk dokter yang mengalami gangguan singulat (Amen, 2011 – “Change Your Brain Change Your Life” hal. 168-169)) dan kerendahatianbahwa hasil yang akan mereka dapatkan ditentukan oleh sesuatu yang sedang mereka perbaiki, yang faktanya adalah buatan pihak lain. Pihak lain tersebut bisa Volkswagen, Tuhan atau Seleksi Alam. Karena hasil tersebut di luar dari ketentuan mereka, tugas dan tanggung jawab dokter dan pekerja mekanik hanyalah mempromosikan hasil tersebut sesering mungkin (hal. 94-95; vid. Aristoteles – “Rhetoric”).

o   Memperbaiki barang yang rusak bisa mengobati narsisme karena hanya dengan kepedulian kita dapat mencari akar masalahnya.

·         Pengetahuan pribadi = idiot?

·         Kemampuan metakognisi terkait dengan moral. Mengesampingkan kepentingan pribadimenghasilkan kecermatan (hal. 115-116).

·         Kebodohan sebagai prinsip (hal. 116-118)

Saya tidak mengerti bagian ini. Apakah prinsip yang dimaksud di sini adalah aturan moral, gagasan atau aturan proses?

5.       BAB 5 menjelaskan bahwa dunia kerja adalah bagian dari pendidikan lanjutan

·         Apa yang dimaksud dengan ‘sisi kesopanan yang salah’ dalam pekerjaan atau konferensi akademis? (hal. 128)

Saya tidak mengerti bagian ini.

·         Manusia yang selalu ingin tahu adalah pengkhianat (Santo Agustinus). Tidak seperti keingintahuan yang bersifat teoritis, keingintahuan yang bersifat praktis memerlukan kehati-hatian (hal. 144-145).

·         Dalam menentukan tarif, kita harus keluar dari pola pemikiran kita sendiri demi mewujudkan moralitas kita sebagai pekerja.

Menurut saya, bagian ini bertentangan dengan bagian dalam BAB 3 yang penulis paparkan (hal. 64). Berasumsi sebagai pekerja mekanik, saya tidak merasa wajib untuk menyesuaikan waktu yang saya habiskan untuk bekerja dengan waktu yang klien habiskan untuk menunggu barangnya selesai diperbaiki karena pengalaman yang kami peroleh dari waktu yang dihabiskan sudah pasti berbeda (lih. hal. 132). Tanpa memperhatikan tingkat kecakapan saya sebagai pekerja mekanik, tingkat kecakapan klien sebagai pengendara, dan keseriusan produsen memproduksi kendaraan. Dengan penyesuaian tersebut, saya merasa bahwa saya telah merusak moral orang lain (dan moral saya sendiri) dengan menerima tanggung jawab orang tersebut tanpa persetujuan.

6.       BAB 6 menjelaskan tentang moralitas semu dalam kehidupan perkantoran

·         Dalam kaitannya dengan hasil dan prestasi, apakah yang dimaksud dengan obyektivitas dalam perusahaan yang tidak memproduksi obyek nyata? Para manajer biasanya mengalihkan perhatian mereka kepada keadaan psikologis karyawan.

Gambaran ini persis dengan keadaan kantor saya yang bergerak di bidang penerjemahan. Mitigasi saya adalah dengan meletakan fakta bahwa dokumen yang saya terjemahkan adalah milik klien—dalam artian melepaskan peran perusahaan sebagai perantara.

·         Pengawasan dalam kantor di mana pekerja kerah putih bekerja lebih lemah daripada tempat kerja di mana pekerja kerah biru bekerja.

o   Akar dari kehidupan kerja yang miskin bukanlah keserakahan melainkan manajemen kerja di mana para manajer seharusnya bekerja.

·         Jabatan tingkat menengah seperti manajer adalah posisi serba salah. Mereka mengembangkan kepribadian dan gaya bahasa seperti “diplomat”.

·         Sekolah ke jenjang yang lebih tinggi demi karir adalah kesalahan.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat ini. Dalam kasus Finlandia, semua guru wajib memperoleh gelar master untuk dapat mengajar. Melalui PISA, kita semua tahu seberapa hebatnya guru-guru di sana (Sahlberg, 2010 – “The Secret to Finland’s Success”).

o   Inflasi ijazah adalah pertanda bahwa masyarakat membeli produk pendidikan hanya untuk mengimbangi kebodohan.

o   Kecuali apa yang Anda pelajari di sekolah selalu relevan dengan prestasi kerja Anda.

o   Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa sarjana bekerja lebih baik daripada para lulusan SMA. Sebaliknya, ada korelasi terbalik antara prestasi sekolah dan prestasi kerja (Berg, 1970).

o   Tidak hanya pelajar yang memiliki hasrat ingin tahu (Aristoteles).

·         Budaya perusahaan bisa dikenali, dievaluasi, dan diubah.

·         Kerja tim rentan manipulasi daripada kerja kru.

7.       BAB 7adalah pendukung dari BAB 2 bahwa berpikir adalah bekerja dan sebaliknya

·         Anaxagoras berkata, “Manusia menjadi makhluk yang cerdaskarena memiliki tangan.”Menurut saya, kutipan ini kurang sesuai dengan isi bab ini. Sebelumnya, penulis mengatakan bahwa tangan dan otak adalah bagian yang tidak terpisahkan (hal. 25; cf. Rose, 2005 – “The Mind at Work”). Stigma masyarakat bahwa pekerja manual bekerja seolah-olah tanpa otak—bahwa tangan mereka terpisah dari otak. Dengan demikian, saya akan memodifikasi kutipan Anaxagoras menjadi, “Manusia menjadi makhluk yang cerdas karena memiliki tangan [dan otak].”Dan modifikasi tersebut tidak akan mengubah pernyataan-pernyatannyayang tercantum dalam BAB 3.

·         Algoritme digunakan untuk masalah dengan variabel yang lebih sedikit sementara intuisi untuk masalah dengan variabel yang lebih banyak.

Semacam segregasi otak rasional dan otak irasional? (vid. Lehrer, 2010 – “How We Dedice”; cf. Gladwell, 2008 – “Blink”).

·         Ide dasar dari pengetahuan implisit adalah bahwa kita mengetahui lebih banyak daripada yang kita dapat ungkapkan.

·         Manusia masih dan akan selalu mengungguli komputer.

Kecerdasan bukanlah kecepatan dan kapasitas memori semata (cf. Hawkins, 2009 – “On Intelligence”).

8.       BAB 8 menjelaskan tentang pentingnya berfokus pada apa yang dikerjakan

·         Cara untuk memperoleh kecepatan lebih penting daripada kecepatan itu sendiri.

Dalam konteks yang lebih umum, ‘yang penting halal’berfungsi sama :D

·         Produk atau hasil kerja dapat terpisah maupun tidak terpisah dari pekerja.

Menurut saya, keterpisahan produk atau hasil kerja seorang pekerja sangat dipengaruhi oleh kecintaannya terhadap pekerjaannya sendiri.

·         Hasil adalah faktor eksternal yang dapat memberikan dampak buruk pada hasrat pekerja.

Secara pribadi, saya mengiyakannya. Untuk alasan praktis dan teoritis, saya merasa tidak nyaman dengan sistem penilaian di kantor.

o   Apakah ada hubungan antara hobi melakukan perjalanan dengan moral yang rusak? (hal. 221-224).

Hal tersebut mungkin ada, tetapi tidak selalu.

·         Berkumpul bersama rekan seprofesi bisa menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan hasrat kita terhadap pekerjaan yang sedang kita tekuni.

Saya tidak memberi buku ini «««««karena inkonsistensi pada dua pendapatnya (lih. BAB 5 dan BAB 7). Dan saya batal memberi buku ini «««« karena terdapat bagian-bagian yang pada akhirnya tidak juga dapat dimengerti—seperti yang dikemukakan di atas. Saya berharap Crawford bisa merekonstruksi kalimatnya dan memberikan uraian tambahan sehingga lebih mudah dimengerti oleh pembacanya. Sementara dari segi produksi, saya cukup puas dengan hasil terjemahannya. Meskipunsaya menemukan istilah yang tidak diterjemahkan secara konsisten, misalnya: ‘artificial intelligence’ yang dipadankan dengan ‘intelegensi artifisial’ (hal. 53) dan‘intelegensi palsu’ (hal. 207); dan frasa yang saya tidak mengerti, misalnya: ‘akta pembicaraan’ (hal. 230)—apakah maksudnya ‘notulensi rapat’ atau ‘pembicaraan sesama rekan seprofesi’?