Minggu, 10 Juli 2011

ULASAN BUKU – "EATING FOSSIL FUELS" (2006)

Awalnya, gue baca buku ini untuk memastikan hubungan antara populasi (x) dengan kelaparan (y1) dan kerusakan lingkungan (y2). Gua berprasangka bahwa fakta-fakta mengenai y1 dan y2 dimanipulasi oleh politikus dengan menekan ilmuwan tertentu untuk kepentingan pribadi dan golongan—yang penulis buku akui bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi (p. 35).1 Depopulasi karena kekhawatiran akan adanya wabah kelaparan terdengar seperti mengamini motif Hitler ketika memusnahkan warga Yahudi (Hitler, 1925 – “Mein Kampfvia Kaplan [pranala]) atau Belanda ketika memusnahkan etnis Tionghoa di Kali Merah atau menyetujui esainya Malthus tentang hubungan antara produktivitas dan populasi. Di luar fakta medis mengenai tingkat kematian akibat kelahiran, depopulasi pranatal juga terdengar melanggar HAM—#MyUterusMyRights.

Since I graduated from social science, my analysis would be much driven by social viewpoints.

ISU
Buku ini memaparkan isu-isu sebagai berikut:
1.      MAKANAN = ENERGI + NUTRISI. Dengan penjabaran mengenai hukum kekekalan energi, hukum entropi, dan hukum termodinamika, penulis percaya bahwa jumlah energi bersifat konstan—(cf. pendekatan alam: Einstein-1 -4; pendekatan sosial: Duncan 2005-2006 – “The Social Contract”). Menurutnya, jumlah energi yang terbatas tersebut semakin berkurang seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Karena kekurangan ini, maka makanan yang tersedia untuk dikonsumsi pun akan berkurang. Ia optimis bahwa manusia akan mengalami wabah kelaparan yang belum pernah dialami sebelumnya (p. 42).2
2.      DEGRADASI TANAH, studi kasus: sejak tahun 1945, kerusakan hutan hujan tropis telah mencapai 5 juta hektar. Setiap tahunnya 10 juta hektar terbengkalai akibat degradasi yang parah. Sementara di waktu yang bersamaan 5 juta hektar tanah harus masuk dalam proses produksi untuk memberi makan 84 juta manusia baru yang lahir tiap tahun (cf. Daily in Owen and Unwin [eds.], 1997 –  “Environmental Management: Readings and Case Studies”; Houghton, 2003 – “The Worldwide Extent of Land Use Change”; Myers, 1990 – “The Nontimber Values of Tropical Forest”).
3.      DEGRADASI AIR. 70% bumi terdiri dari air di mana 97,5 persennya adalah air laut sehingga menyisakan hanya 2,5% air tawar. 70% dari air tawar tersebut membeku di Antartika dan Greenland menyisakan 0,77% air yang dapat diakses manusia. Degradasi air berawal dari: (a) irigasi yang buruk (cf. Postel, 1989 – “Water for Agriculture”). Di AS, 85% air tawar digunakan untuk pertanian;3 (b) kekeringan sungai, studi kasus: laut aral tingkat garamnya naik 3 kali lipat akibat berkurangnya debit air sungai yang mengalir ke laut tersebut (cf. Frederiksen, et al., 1993 – “Water Resources Management in Asia”). Hal serupa terjadi pada Sungai Kuning, Gangga, Nil, dst. (cf. Postel, 1989 – ibid.). Hal tersebut jelas merusak ekosistem; (c) penggunaan pupuk buatan berbahan nitrogen menciptakan ledakan produksi ganggang dan mikroorganisme lainnya yang akhirnya membuat ketersediaan oksigen untuk ikan, udang, dan habitat lainnya berkurang (cf. Postel, 1989 – ibid.). Secara global, penggunaan pupuk berbahan nitrogen lebih banyak dipasok alih-alih pupuk alami; (d) penggunaan pestisida berbahan dasar hidrokarbon seperti Methyl Parathion, Aldrin, DDT, dsb. yang umumnya adalah neurotoksin yang mampu mengendap di lingkungan cukup lama (cf. Postel, 2005 – “Liquid Assets: The Critical Need to Safeguard Freshwater Ecosystems”).
4.      MEMAKAN BAHAN BAKAR FOSIL. Berbeda dengan energi matahari, dilihat dari periode hidup manusia, bahan bakar fosil tidak dapat diperbarui. Untuk mengukur rasio masukan bahan bakar fosil dan keluarannya, misalnya, terhadap pertanian dan/atau produksi makanan, maka bentuk energi dibagi dua, yaitu: (a) eksosomatik, perubahan energi yang terjadi di luar tubuh—contoh: 1 liter pertamax untuk menjalankan motor sejauh 47 km; dan (b) endosomatik, perubahan energi yang terjadi di dalam tubuh—contoh: 2.500 kalori dalam 3 piring nasi dan lauk-pauk untuk aktivitas sehari-hari.4 Sejak revolusi industri, bahan bakar fosil menggantikan peran energi matahari dengan mewakili 90% energi eksosomatik di negara-negara maju (Giampietro and Pimentel, 1994 – “The Tightening Conflict”). Dalam artian, untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang lebih efisien, manusia tidak lagi mengandalkan energi tubuhnya. Sialnya, efisiensi tersebut tidak semeyakinkan kelihatannya. Penggunaan energi eksosomatik tidak lebih adalah pemborosan—alias hanya menciptakan keuntungan jangka pendek. FAO mencatat bahwa normalnya manusia membutuhkan 0,7 kilokalori bahan bakar fosil (belum termasuk energi yang dibutuhkan untuk pestisida, permesinan, dan operasi lapangan) untuk memproduksi 1 kilokalori makanan (belum termasuk proses pengemasan, penyimpanan, masak, dan pengiriman) (Pimentel and Giampietro, 1994 – “Food, Land, Population and the US Economy”). Penulis menyebutkan bahwa untuk mengantarkan 1 kilokalori makanan ke konsumen, dibutuhkan 10 kilokalori energi eksosomatik, studi kasus: restoran siap saji dalam proses: (a) pengiriman bahan—semakin besar jarak antar konsumen dan sumber makanan, semakin banyak energi yang digunakan; (b) penyimpanan bahan—penggunaan kulkas, penghangat makanan, dsb. Semakin lama masa penyimpanan, semakin banyak energi yang dihabiskan. Ironis bahwa globalisasi produksi makanan telah menjadi ancaman bagi ketersediaan pangan. Pimentel dan Giampietro menyimpulkan bahwa rasio eksosomatik dan endosomatik adalah 10:1, ilustrasi: selama tersedia cukup bahan bakar fosil untuk proses energi eksosomatik, seorang buruh hanya perlu waktu 20 menit untuk mampu memenuhi kebutuhan makan seorang warga untuk 1 hari5. Penulis percaya bahwa produksi bahan bakar fosil mulai menurun pada 10 tahun ke depan (p. 22). Dan apabila rasio tersebut akurat, dengan skenario kelangkaan bahan bakar fosil sebagaimana ditunjukkan oleh Campbell dan Laherrere (p. 32; cf. Laherrere, 2003 – “Modelling Future Oil Production, Population and the Economy; Campbell, 2003 – “Country Assessment – Russia”), akan dibutuhkan waktu 111 jam kerja bagi seorang buruh untuk memenuhi kebutuhan makan seorang warga untuk 1 hari. Gap inilah yang diprediksi akan menciptakan wabah kelaparan.-2
5.      BERAKHIRNYA ERA MINYAK. Revolusi industri melibatkan perbudakan. Perbudakan ditukar dengan penggunaan batu bara. Penggunaan batu bara ditukar dengan minyak yang mengandung kalori yang jauh lebih tinggi. Sejak itu, tidak hanya untuk pertanian, pemenuhan kebutuhan manusia sangat bergantung pada minyak. Minyak terbentuk dari proses biologis dan geologis yang bergantung pada kondisi lingkungan khusus. Sialnya, kondisi tersebut mungkin sudah tidak ada lagi mengingat terbentuknya minyak memakan waktu lebih dari jutaan tahun. Punahnya minyak ditandai dengan grafik kurva lonceng yang menggambarkan bahwa setelah produksi menyentuh batas maksimum, maka ia akan menurun. Ketika industri minyak AS melewati produksi maksimumnya di tahun 1970an, dan Rusia di tahun 1987 (Campbell, 2003 – ibid.; Anonymous for the Moscow News, 2004 – “Russia’s Oil Exports Reach Maximum, Decline to Start in Two Years”), perang untuk memperebutkan minyak pun terjadi. Namun, kekecewaan muncul ketika perang di Afganistan ternyata tidak menghasilkan yang diharapkan—minyak di sana dilaporkan tercampur banyak sulfur. Hal yang sama suramnya juga terjadi pada gas alam (cair)—studi kasus: produksi Meksiko (Esser, 2004 – “Mexico Country Analysis Brief”) dan Kanada (Pfeiffer, 2004 – “The End of the Oil Age”).-3 Selain penggunaan nuklir yang berisiko, penulis percaya bahwa tidak ada sumber energi alternatif. Kecuali, ada ilmuwan gila yang berhasil mematahkan hukum termodinamika kedua bahwa energi yang dibutuhkan untuk melepaskan ikatan elemen yang mengikat hidrogen jauh lebih kecil dari energi yang terkandung dalam hidrogen itu sendiri.-4 Sialnya, hidrogen itu sendiri hanyalah wadah penyimpan energi; bukan sumber energi.-1 Secara ekonomis, indikator dari berakhirnya era minyak dapat dilihat dari meningkatnya harga makanan.
6.      RUNTUHNYA PERTANIAN. Mendorong pertanian di luar batas membuat manusia memproduksi racun. Selain karena ketergantungannya pada bahan bakar fosil seperti yang telah dipaparkan di bab 4 dan 5 (p. 29), penulis percaya bahwa pertanian akan runtuh seiring dengan berkurangnya jumlah lahan yang tersedia untuk bertanam akibat bertambahnya kebutuhan tanah untuk tempat tinggal setiap pertambahan manusia baru.-5 Sebagai contoh keruntuhan pertanian, penulis merujuk pada Korea Utara dengan menjadikan pupuk, bahan bakar diesel, dan irigasi sebagai faktor pendorong keruntuhan tersebut. Ketiga faktor ini tidak terpenuhi akibat kekurangan energi listrik, dan batu bara yang tidak dapat diproduksi dan/atau diimpor oleh negara tersebut.6 -6
7.      KUBA SEBAGAI NEGARA PERCONTOHAN UNTUK REVOLUSI HIJAU. Kuba sebagai satu-satunya negara yang sukses keluar dari krisis tanpa bantuan IMF dan Bank Dunia. Kuba menghilangkan mitos bahwa pertanian organik tidak mendukung modernitas; bahwa industrialiasi pertanian memiliki dampak negatif yang justru lebih besar—terutama pada erosi tanah dan penipisan mineral.
8.      MEMBANGUN PERTANIAN YANG TAHAN LAMA. Di bab ini, penulis membahas: (a) jaminan ketersediaan pangan; (b) pertanian tahan lama—(i) semakin besar pertanian, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan; (ii) produksi nutrisi buatan merusak ekosistem. Merusak ekosistem berarti mengurangi pasokan nutrisi yang alam mampu penuhi; (c) pertanian kota.
9.      DUA BELAS KEGIATAN UNTUK PARA AKTIVIS. Hal paling logis dan etis untuk menghadapi menipisnya energi adalah mengurangi penggunaan energi. Hal tersebut mungkin terdengar mengada-ada apabila kita mengetahui dengan benar bagaimana bumi ini berputar baik secara ekonomis maupun politis. Menyikapi hal ini, penulis mengajukan dua belas kegiatan yang dapat dilakukan, yakni: (a) membangun komunitas untuk menggunakan lahan kosong untuk ditanami sayur-mayur dan/atau buah-buahan; (b) menyimpan biji-bijian dari setiap buah-buahan yang kita konsumsi untuk ditanam dalam pot—seperti kebiasaan sejumlah orang yang menyimpan biji buah nangka untuk dimasak; (c) memberikan makanan kepada kaum papa dengan sistem yang menyerupai piknik terbuka alih-alih buka bersama tertutup; (d) bergabung dalam atau membangun komunitas petani di lingkungan sekitar—terdengar wuah banget; tetapi tidak mustahil. Coba bayangkan permainan seperti “The Sims 2” :P; (e) mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Apabila Anda tidak nyaman menggunakan kendaraan umum, pertimbangkan untuk membangun jaringan transportasi kelompok di mana lo bisa berbagi kendaraan dengan orang-orang yang memiliki kegiatan di tempat yang sama dalam waktu yang sama; (f) membangun rental atau koperasi sepeda; (g) mendukung usaha setempat, khususnya produksi koperasi; (h) membentuk koperasi untuk kegiatan tertentu seluas-luasnya; (i) membuat acara dalam bentuk festival musik, film, tarian, dsb. untuk mengkampanyekan hal-hal di atas; (j) membangun koperasi khusus untuk kegiatan bagaimana menciptakan rumah yang mengkonsumsi energi secara lebih efisien; (k) membangun koperasi untuk produksi energi dengan menggali potensi setempat: (i) angin; (ii) matahari; (iii) hidroelektrik; atau bahkan (iv) panas bumi; dan (l) membangun kampung ekologis.

SOLUSI
1.      Kembali ke pertanian skala kecil (pertanian keluarga/rumahan). Kunjungi www.farmland.org, www.cityfarmer.org, dan www.communitygarden.org.
2.      Membudayakan tanaman hidroponik.
3.      (a) Idem dengan no. 2; (b) menggunakan pupuk kandang yang diketahui mengandung 5x lipat nutrisi lebih banyak dari pupuk [buatan]; (c) mengurangi konsumsi daging sapi atau ayam—promosi daging ikan dan vegetarian.
4.      Memasak di rumah; makan makanan lokal; mengurangi makan makanan beku. Kunjungi www.foodfirst.org, www.foodshare.net.
5.      Mempertimbangkan untuk beralih ke tenaga nuklir; idem dengan no. 3 (b).
6.      -
7.      Menggalakan koperasi yang mendukung petani. Menerapkan agroekologis: penggunaan biopestisida—menggunakan mikroba dan musuh alami untuk memberantas hama; dan pupuk biologis—menggunakan cacing tanah, kompos, fosfat dari bebatuan alam, kotoran hewan, dan bangkai tanaman; kembali menggunakan hewan sebagai traktor.
8.      Lokalisasi sistem distribusi makanan; idem dengan no. 1—menjadikan 65% keluarga di Moskow, dan 44% keluarga di Vancouver dan Berlin sebagai kawasan percontohan (Ableman, 2000 – “Agriculture’s Next Frontier: How Urban Farms Could Feed the World”). Kunjungi www.localharvest.org, www.foodsecurity.org, dan www.uharvest.ca.

CATATAN KAKI
1.      Golongan tertentu yang dimaksud adalah orang yang terlibat dalam produksi industri makanan. Dengan menciptakan kepanikan bahwa akan adanya bencana kelaparan, mereka bisa mengendalikan waktu kapan harus menaikan harga jual. Dan bila ini terjadi, akses untuk orang miskin mendapatkan makanan semakin kecil.
2.      Secara ekonomis, dalam artian akses ke makanan dibatasi oleh kepemilikan uang, keadaan tersebut diperparah dengan distribusi pangan yang tidak merata. Penulis mengangkat studi kasus dari AS di mana terdapat sekitar 34,6 juta penduduk yang hidup miskin.
3.      1.000 ton air digunakan untuk mengairi 1 ton biji-bijian (Pimentel and Giampietro, 1994 – “Food, Land, Population and the US Economy”). Setiap 2/5 ton biji-bijian digunakan untuk pakan ternak. Ini menjadi alasan mengapa menu makanan tanpa daging dapat menafkahi 2 orang lebih banyak dari menu makanan dengan daging (Pimentel and Giampietro, 1994 – “Food, Land, Population and the US Economy”).
4.      Kebutuhan kalori ini bersifat relatif bahwa semakin keras pekerjaan yang dilakukan, maka semakin banyak kalori yang diasup.
5.      Dengan asumsi bahwa setiap orang membutuhkan 2.500 kilokalori untuk menu harian.
6.      Secara politis, kesulitan Korea Utara juga dipengaruhi oleh buruknya hubungan diplomasi. IMO, ini terdengar ironis. Dengan pemaparan adanya kematian akibat kelaparan, dan kekurangan gizi, apa yang dialami oleh Korea Utara lebih menyerupai pengucilan antar organisasi. Secara sosial, Korea Utara tidak mendapatkan apa yang semestinya. Kasus Korea Utara tidak terlalu berbeda dengan apa yang terjadi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tehee, you know my point guys. Kalaupun kondisi Korea Utara sedramatis demikian, bahwa wabah kelaparan telah memusnahkan 3 juta penduduknya (p. 44);-7 IMO, kondisi tersebut tidak banyak berbeda dengan dampak psikologis yang dialami oleh Korea Selatan yang menurut standar yang sama (cf. PBB) memiliki taraf kehidupan yang lebih baik; bahwa Korea Selatan merupakan negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi dunia (cf. OECD, 2009). Nah...

ANTITESIS (-)
Berikut ini adalah beberapa antitesis yang saya ajukan kepada penulis buku:
1.      Penafsiran lazim menyebutkan bahwa energi dikonversi ke dalam massa—E = mc2. Namun, sejujurnya, belum ada ilmuwan yang benar-benar memahami bagaimana pengaruh dari persamaan tersebut bekerja dalam satuan partikel; bagaimana energi tersebut dikonversi ke dalam massa, dan sebaliknya. Ada sejumlah spekulasi, satu di antaranya adalah massa sebuah partikel bergantung pada tingkat kelompok dari suatu ikatan partikel (via Sanderson for New Scientist. 2011 – “Hydrogen bonds in a bind” [pranala]). Dengan adanya temuan ini, maka analisis penulis menjadi lemah.
2.      Kelaparan tidak hanya disebabkan oleh ketersediaan pangan semata—dalam artian mengukur asupan kalori saja belum cukup. Pun, asupan kalori tidak dapat menggunakan 1 standar untuk beragam demografi. Konsumsi seseorang sebenarnya adalah jumlah makan yang ia makan; bukan jumlah makanan yang disediakan untuknya—lihat catatan kaki no. 4. Konsumsi bisa menurun bahkan ketika jumlah makanan melimpah (Sen, 2009 via Spagnoli – “Famines and Democracy”). Dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas dari kita pasti pernah mengalami momen ‘malas makan’.
3.      Yang menarik adalah penulis tidak memaparkan produksi minyak Arab Saudi seperinci produksi Rusia sebagai rival terkuatnya. Penulis juga tidak memaparkan hasil produksi di Indonesia, Brunai Darussalam, dan anggota-anggota OPEC lainnya.
4.      Insting kita menilai bahwa massa suatu unsur harus lebih kecil dari massa suatu elemen yang mengandung unsur tersebut. Penemuan terakhir menyatakan tidak demikian—thanks to quantum physics! Setidaknya, terdapat 10 unsur yang memiliki massa paling labil (cf. Coplen, 2010-2011 for US Geological Survey [pranala]; IUPAC, 2010 – Periodic Table of the Elements [pranala], “Pure and Applied Chemistry, vol. 83, p. 359” [pranala]). Selain itu pula, masih ada misteri yang belum dipecahkan oleh para ilmuwan mengenai proses terikatnya hidrogen (Desiraju for Indian Institute of Science in Bangalore in New Scientist, 2011 – ibid.). Apabila massa suatu unsur tidak konstan, maka jumlah energinya pun demikian. Dari temuan terbaru ini, dapat dikatakan bahwa analisis penulis mendahului simpulan.
5.      Standar ini tidak dibangun dari gaya hidup masyarakat timur yang tidak keberatan untuk hidup bersama dengan anggota keluarga non-inti. Kuantifikasi yang disajikan oleh penulis tidak secara umum berlaku. Kasarnya, rumus yang digunakan belum sempurna karena ketiadaan variabel penting lainnya yang belum dimasukkan untuk memberlakukan nilai-nilai relatif.
6.      Sejauh ini, penduduk Korea Utara menangani krisis bersama-sama. Penulis berpendapat bahwa pada akhirnya krisis tersebut akan berakhir pada persaingan, fragmentasi wilayah, memburuknya hubungan sosial, perkelahian sesama kelompok yang akhirnya akan berakhir pada perang sipil (p. 50). Hehe... Mungkin sama seperti gue, beberapa dari kalian akan menyangsikan keadaan tersebut. Korea Utara adalah negara monokultural; mungkin bila ia terdiri dari ragam suku seperti Indonesia atau AS, hal tersebut mungkin saja terjadi. Prinsip persaudaraan mereka jelas lebih kuat dan lebih sulit pecah kecuali terdapat campur tangan dari luar—studi kasus: pecahnya Uni Soviet, konflik Palestina, dan perang sipil di Sierra Leone.
7.      Alasan gue menyangsikan data ini dipengaruhi dari temuan bahwa beberapa LSM cenderung memanipulasi data kematian untuk memeroleh perhatian yang diinginkan; dengan begitu mereka dapat menyesuaikan besar dana yang akan diperoleh. Kejam? It is... A number of NGOs are undisclosedly profitable legal entities. Salah satu majalah politik pernah memaparkannya pada kasus bencana gempa bumi Haiti pada tahun 2010 lalu (Reef for Foreign Policy, 2011 [pranala]).

EPILOG
Terlepas lo ateis, agnostik atau beragama, kita tidak benar-benar tahu kapan bumi ini akan punah; atau temuan-temuan yang dipaparkan di atas benar-benar saling berhubungan atau tidak. IMO, melakukan hal-hal di atas dalam usaha memperlambat kepunahan bumi layak untuk dipertimbangkan. Hmmm, setidaknya kalian bisa melakukan solusi no. 4, dan isu no. 9 (e) dan (g). Secara konkrit, tanpa mengetahui data di atas pun, beberapa dari kalian sudah menjadikan isu no. 9 (f) dan solusi no. 3 (c) sebagai gaya hidup. Khusus untuk isu no 9 (c), hal yang dipaparkan penulis bukan ide baru sama sekali. IMO, ide tersebut mirip dengan filsafat Islam perihal zakat dan infak. Dari antitesis yang gue paparkan di atas, lebih dari kelihatannya, prasangka gue belum berubah bahwa masalah populasi adalah mitos yang sengaja diangkat untuk kepentingan golongan elit tertentu. Hehe... How about you? Do you believe that there’s positive correlation among x, y1 and y2? How do you prove it?