Minggu, 29 Mei 2011

ULASAN BUKU - "ON INTELLIGENCE" (2004)

Buku ini cukup informatif mengenai: (a) struktur kasar neokorteks. Bagian yang paling gue suka adalah ketika Hawkins mencoba menggariskan satuan unit terkecil pada korteks berdasarkan algoritma kortikal yang bahkan baru bersifat draf! (cf. Mountcastle, 1978)--dalam artian belum ada persamaan atau bahkan fungsi matematisnya; (b) ambiguitas korteks dalam mengelompokkan data; dan (c) saccade dan fiksasi mata--menurut gue, Hawkins menjelaskan secara baik dengan mengangkat proses identifikasi wajah sebagai contoh.

Adapun hal-hal yang membuat alis gue lumayan naik adalah ketika ia berpendapat bahwa: (a) binatang dan hewan mamalia secara umum tidak memiliki bahasa1--mungkin ini bisa menjadi alasan yang tidak disadari kenapa doi ditolak MIT selain tidak sejalan dengan visi dan misi institusi? :P (b) teori evolusi Darwin dalam pengertian harfiah di luar konteks biologi historis; (c) listrik sebagai salah satu contoh teknologi yang paling ramah digunakan oleh manusia. Menurut gua, ini seolah mengacuhkan fakta bahwa energi listrik merupakan salah satu kontributor CO2 terbesar di bumi. Aneh karena Hawkins ternyata salah satu pihak yang anti akan penggunaan nuklir.

Dari buku ini, secara langsung dan/atau tidak langsung, gue dikonfirmasi bahwa: (a) mengukur kecerdasan homo sapiens adalah omong kosong. Hawkins menjabarkan dengan keterpisahan antara kecerdasan mentalis dan manifestasinya dalam ruang 3D dengan hubungannya terhadap format data otak yang melulu berupa pola invarian--hal ini juga sejalan dengan salah satu kajian di ilmu sosial; (b) homo sapiens adalah makhluk kreatif--atau yang dalam istilahnya Hawkins disebut dengan 'prediksi analog'; (c) Bahasa Buatan2 dan Bahasa Manusia Murni adalah dua obyek yang selamanya akan terpisah yang artinya bahwa, dalam contoh tersebut, robot penerjemah di masa akan datang dan program terjemahan yang ada saat ini--studi kasus: Google Translate--akan sama tidak pekanya ketika menangani ragam konteks wacana.3 Dengan pertimbangan sifat alamiah komputer yang tidak (dapat) belajar secara otodidak mengingat prosesor dan RAM tidak beroperasi dengan metode umpan balik seperti koordinasi neokorteks dan hipokampus yang bekerja pada sistem memori-prediksi (cf. Searle, 1980 - "Minds, Brains, and Programs"). Jelasnya, input informasi komputer inisial selalu bergerak searah (luar ke dalam) dan oleh karenanya bersifat pasif. Komputer senantiasa membutuhkan manusia untuk memasukan data--contoh: vitalitas web 2.0 pada Facebook dan para pemilik akunnya. Dan tentu saja mereka membutuhkan desainer situs untuk menyusun sintaksnya.

NOTA BENE
  1. Dalam teori bahasa fundamental, bahasa berarti kode. Silahkan kontraskan pernyataannya dengan fungsi dari suara supersonik seekor lumba-lumba.
  2. Termasuk, tetapi tidak terbatas pada, bahasa komputer, bahasa manusia yang digenerasikan oleh komputer, dsb.
  3. Dalam suatu kasus pribadi, dalam kontak bahasa antara bahasa Inggris dan Indonesia, Google Translate pernah gagal dalam tingkatan gramatika (< 2010)--'present progressive'.

OTAK DAN LOYALITAS

Dalam dunia perempuan, seberapa jauh opini temannya berpengaruh dalam pembentukan model realitas di otaknya? Apabila neokorteks kita membangun masa depan berdasarkan pengalaman nyata dari masa lalu,1 seberapa presisi prediksi kita dibangun dari memori yang tersangkut dalam sinaps? Apabila fungsi hipokampus bahkan tidak mampu membantu satuan kolom per satu lapisan neuron dalam mengelompokkan data dalam pola invarian, seberapa spesifik pengalaman seseorang? Apabila ahli neurobiologi beranggapan bahwa data yang kita simpan tak lekang waktu,2 apa yang membuat impuls tercipta di bagian tersebut? Bisakah kita memerintahkan otak secara sadar pada neuron untuk tidak menembak di bagian tertentu sehingga tidak mengakses data tentang pengalaman yang tidak menyenangkan?

Visual korteks tidak menyimpan data dalam bentuk visual. Bungkus kopi disimpan dalam bentuk bukan bungkus kopi. Lukisan kubisme dan desain piksel tidak disimpan dalam bentuk kotak-kotak. Wajah seseorang pun begitu. Keempat obyek tersebut disimpan dalam suatu pola non-spesifik yang membentuk sekuens.3 Saya bisa mengenali merek kopi karena arus informasi di otak bermula dari data spesifik, digeneralisasi, kemudian diprediksi secara spesifik kembali. Ini membuat saya dapat mengenali kopi yang saya suka atau tidak--meskipun ketika departemen pemasaran dari produsen kopi tersebut memutuskan untuk melakukan 're-branding' ke dalam logo yang baru, otak saya akan tetap dapat mengenalinya. Serupa dengan gagasan ini, bagaimana indra-indra kita memproses data dalam sensasi lain? Afeksi, sayang atau cinta misalnya? Apabila benar bahwa semua indra kita hanya menangkap data dalam 1 bentuk yang sama, akankah prosesnya menjadi identik? Seberapa jauh neokorteks akan toleran terhadap data baru? Terhadap rasa lidah yang baru; terhadap lentikan jari yang baru; terhadap tatapan mata yang baru? Apabila pola invarian membuat kita mampu mengenali obyek serupa dari data sebelumnya sebagai obyek yang berdiri dalam kategori yang sama, misalnya, mengenali GoodDay, Indocafe, dan Nescafe sebagai bagian dari kopi bungkus; mengenali si A, B, dan C sebagai cinta, apakah kesetiaan berarti kesulitan neokorteks dalam mengkategorikan sensasi? Apakah ini membuat saya tampak seperti robot dengan algoritma kortikal dalam silikon?

Sebagai linguis, untuk pertama kalinya saya bertanya, "Apakah kesetiaan bermakna positif, negatif atau netral? Dalam situasi spesifik apa?"4

EPILOG
Dalam prosesnya, neokorteks sering kali kewalahan dalam mengelompokkan data. Ini yang membuat kita sering labil menentukan pilihan. Dan ini normal. Kepastian yang ajeg justru yang dikhawatirkan. Intoleransi terhadap sesuatu, atau yang dalam nuansa positifnya juga dikenal dengan loyalitas, sangat mungkin berasal dari landasan yang keliru. Pada sisi yang lebih teknis, biofisika misalnya, hal tersebut bisa dipengaruhi oleh variasi bentuk fisik dalam beberapa elemen otak--entah kabel-kabel subkortikal yang lebih tebal; sel dendrit yang lebih tipis; lipatan protein yang berbeda atau bahkan yang lebih mikro dan tak ada hubungannya dengan tangan manusia seperti manuskrip gen--setidaknya hingga hari ini.

NOTA BENE
  1. Dalam perspektif ilmu komunikasi, situasi ini serupa dengan definisi konteks epistemik.
  2. Teori ini sejalan dengan salah satu wacana fisika mengenai eksistensi bahwa sesuatu yang tidak tampak secara fisik tidak berarti ia tidak ada (cf. Hawking, 2010 - "The Grand Design" mengenai realisme bergantung model, hal. 49-50; Einstein).
  3. Karena pola non-spesifik ini, wilayah otak yang diduga mengolah satu indra tertentu bisa juga memproses data yang diinput dari indra yang lain, contoh kasus: visual korteks yang aktif ketika seorang tunanetra membaca huruf braile. Somatosensorik, visual korteks, wilayah auditoris, dst. berfungsi karena mereka bergotong-royong alias tidak bekerja secara mandiri (cf. Hawkins, 2004 - "On Intelligence"). Oleh karenanya ketika seorang Shakespeare jadi-jadian mengatakan, "Saya mencium aroma manis." Kita tahu bahwa ia tidak hanya sedang menyatakan suatu metafor melainkan pernyataan yang dapat pula bermakna harfiah. Broca mengolah data linguistik dengan bekerjasama dengan dan/atau bahkan menginterferensi bagian(-bagian) yang saya sebutkan di atas sebelumnya. Interferensi tersebut dapat diuji ketika Anda yang mampu berdwibahasa melafalkan kalimat sebagai berikut ke dalam ejaan berbahasa Inggris: "'batik', 'ikat' and 'paddy' are English loanwords absorbed from Bahasa while 'orang-utan' is from Malay." Saya yakin bahwa beberapa dari kalian pasti tersendat atau melakukannya secara perlahan-lahan ketika membacanya. Ketersendatan Anda dalam melakukan tugas ini menandakan suatu interferensi morfemis-fonologis yang melibatkan lebih dari satu bagian otak.
  4. Sebagai masyarakat bahasa, kita semua memiliki otoritas untuk menjawab pertanyaan linguistik; merevisi kamus; mendebat pejabat Pusat Bahasa atau bahkan L'Academie francais yang terkenal kolot. Karena semantik bersifat personal; karena bahasa bersifat dinamis; karena bahasa milik kita.

Kata kunci: neurolinguistik, sosiolinguistik, sosiobiologi

Sabtu, 28 Mei 2011

ULASAN BUKU - "THE GRAND DESIGN" (2010)

Apabila ada yang mengatakan bahwa buku ini cocok untuk pembaca umum, sepertinya hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk saya. Ada beberapa bagian dari buku ini yang harus saya baca berulang-ulang untuk bisa dipahami--yang pada akhirnya, dari beberapa bagian tersebut, tidak semuanya saya pahami. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Fluktuasi kuantum dalam interpretasi latar gelombang mikro (cf. NASA/WMAP Science Team, 2010) mengenai sejarah terbentuknya alam semesta (hal. 139-150);
  2. Uraian diagram Feynmann mengenai penjumlahan sejarah dalam teori elektrodinamika kuantum (QED) (hal. 112-117);
  3. Proses kerja "Game of Life" (hal. 182-192) (cf. Conway, 1970).

Atau mungkin saya saja yang terlalu bodoh? Wkwk... Buku ini tidak dianjurkan sebagai bacaan sebelum tidur; tetapi cukup ampuh untuk mengatasi kantuk ketika Anda berdiri berjejelan di bis menuju kantor.
Terlepas dari klaim penerbit bahwa buku ini cocok untuk pembaca umum, klaim yang diperoleh dari beberapa pengulas bahwa Hawking memiliki selera humor yang baik dapat saya pahami--meskipun beberapa humor tersebut tergolong renyah ketika saya yang bukan fisikawan membaca analogi konyol sementara pada saat yang bersamaan saya sedang berjuang memahami hukum tersebut.

Intinya, saya tidak bisa tertawa lepas ketika tidak memahami. Hal ini menyerupai suatu situasi bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam penciptaan alam semesta. Bagi saya, itu data baru. Dan data baru tersebut masih belum dapat saya proses karena masih ada beberapa hal yang berkonflik seperti sebagai berikut:

  1. Sekarang semua fisikawan percaya bahwa elektron itu ada meskipun tidak dapat dilihat (hal. 50). Apabila Tuhan juga bersifat tak tampak, kenapa doi tidak mempercayaiNya seperti pada elektron? Begitu pula dengan quark. #FisikaNuklir #FisikaKuantum.
  2. Pelabelan campur tangan Tuhan terhadap konstanta kosmologis (cf. Einstein dalam "Relativitas Umum") bukan sesuatu yang bersifat seperti kromodinamika yang memiliki fungsi praktis dalam renomalisasi ketakterhinggaan semata (cf. CERN).

NOTA BENE
Dari perspektif publikasi, sebagai penerjemah saya berpendapat bahwa ada beberapa konsep yang tidak diterjemahkan dengan tepat seperti kata 'teori efektivitas' < 'effective theory' yang mungkin sebaiknya dipadankan dengan 'teori yang berlaku'. Hal ini perlu dilakukan untuk mengontraskan konsep yang sedang di bahas dalam paragraf tersebut agar lebih mudah dipahami (hal. 35; cf. hal. 191).